Taman Tirtonadi dan Monumen 45 Banjarsari

 TAMAN TIRTONADI

Taman Tirtonadi, yang awalnya dinamakan Taman Partinah (diambil dari nama salah satu putri    Mangkunegoro VII) atau pelataran sungai Kalianyar, menjadi lokasi berlangsungnya festival air    Tirtonadi. Dipilihnya tempat tersebut, karena para seniman Kota Solo ingin menghidupkan kembali Roh Taman Budaya Surakarta yang pada beberapa dekade silam bertempat di Taman Tirtonadi  tersebut. Taman yang dulu ramai menjadi tempat para seniman dan budayawan mengapresiasikan cipta, rasa, dan karsanya, kini sepi dari festival budaya. Keramaian jarang sekali hadir di Taman tersebut. Diharapkan festival ini menjadi pionir hidupnya kembali acara seni dan budaya di Taman Tirtonadi yang letaknya strategis tersebut.
Festival Tirtonadi yang digelar di seberang Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah. Itu adalah kali pertamanya Festival Tirtonadi digelar. Event ini digelar sebagai media sosialisasi pelestarian lingkungan sungai dan bantaran sekaligus apresiasi seni dan budaya. Festival Tirtonadi didukung seratusan orang yang terdiri puluhan seniman kelompok tari studio Taksu, paduan suara Voca Erudhita, ketoprak Ngampung, dan warga sekitar Solo maupun Wisatawan yang juga rela tampil basah kuyup karena kehujanan.
Panggung dirancang terbuka dengan dekorasi sederhana namun menarik. Kain-kain dibentangkan pada tiang bambu sehingga menyerupai layar dari sebuah perahu. Di delta Sungai Kalianyar, tiang layar serupa juga dibentangkan. Setting cerita yang direncanakan digelar di tengah Sungai Kalianyar terpaksa dibatalkan karena meluapnya sungai akibat hujan deras yang mengguyur Kota Solo beberapa waktu sebelum acara diselenggarakan.
Pergelaran sendratari “Jarik” merupakan acara inti Festival Tirtonadi. Dengan mengandalkan 170 pemain, “Jarik” bercerita tentang arti pentingnya cinta. Baik cinta kepada sesama, maupun cinta dalam arti luas terhadap lingkungan dan alam yang menghidupi manusia. Ada Cinta yang tulus saling berbagi, ada juga cinta penuh siasat. Tari, ketoprak, dan seni suara dipadukan dalam koreografi yang indah dalam sendratari ” Jarik “. Semangat para kru, penari, pemain ketoprak dan grup vokal dalam mendukung terwujudnya acara ini patut diacungi jempol, mereka rela berbasah kuyup demi terselenggaranya festival seni dan budaya Tirtonadi yang perdana, tidak peduli kedinginan ataupun khawatir akan jatuh sakit. Semoga acara seni budaya ini dapat langgeng terselenggara tiap tahunnya di kota Budaya Solo: “The Spirit of Java”

MONUMEN 45  BANJARSARI


Monumen 45 merupakan sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati peristiwa bersejarah di kota Solo, yaitu Serangan Umum Empat Hari yang terjadi pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Monumen ini didirikan di Taman Banjarsari dimana serangan tersebut terjadi. Penggagas serangan tersebut adalah Letkol Slamet Riyadi dan rekannya Mayor Ahmadi yang kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional. Jasa Letkol Slamet Riyadi di abadikan dalam tugu yang ada di RS Slamet Riyadi dan patung raksasa di bundaran Gladag. Sedangkan Mayor Ahmadi, jasanya dikenang lewat patung yang didirikan di Poroliman yang lokasinya tak jauh dari Monumen 45.

Monumen 45 Banjarsari di bangun Pemkot Surakarta pada tanggal 31 Oktober 1973 guna mengenang perjuangan rakyat Solo pada peristiwa pertempuran melawan tentara Belanda. Setelah 3 tahun pembangunan, Monumen 45 Banjarsari di resmikan oleh Gubernur Jawa Tengah (masa itu) Soepardjo Roestam pada tanggal 10 November 1976 bertepatan dengan Hari Pahlawan.

Banyak hal di setiap sudut dari Monumen 45 yang bisa diulas. Sebelum melihat dari dekat Monumen 45, ada gerbang yang dibangun menyerupai gerbang Kraton Kasunanan. Gerbang ini adalah pintu masuk Taman Banjarsari dimana monumen ini dibangun di tengah-tengahnya. Monumen 45 dibangun dengan patung dua pejuang, yaitu Ulama Pejuang dengan membawa keris dan Pejuang Rakyat Jelata yang membawa bambu runcing,  pemandangan ini tampak dari sisi sebelah utara.

0 komentar:

Posting Komentar