Taman Tirtonadi, yang awalnya dinamakan Taman Partinah (diambil dari
nama salah satu putri Mangkunegoro VII) atau pelataran sungai
Kalianyar, menjadi lokasi berlangsungnya festival air Tirtonadi.
Dipilihnya tempat tersebut, karena para seniman Kota Solo ingin
menghidupkan kembali Roh Taman Budaya Surakarta yang pada beberapa
dekade silam bertempat di Taman Tirtonadi tersebut. Taman yang dulu
ramai menjadi tempat para seniman dan budayawan mengapresiasikan cipta,
rasa, dan karsanya, kini sepi dari festival budaya. Keramaian jarang
sekali hadir di Taman tersebut. Diharapkan festival ini menjadi pionir
hidupnya kembali acara seni dan budaya di Taman Tirtonadi yang letaknya
strategis tersebut.
Festival Tirtonadi yang digelar di seberang Terminal Tirtonadi, Solo,
Jawa Tengah. Itu adalah kali pertamanya Festival Tirtonadi digelar.
Event ini digelar sebagai media sosialisasi pelestarian lingkungan
sungai dan bantaran sekaligus apresiasi seni dan budaya. Festival
Tirtonadi didukung seratusan orang yang terdiri puluhan seniman kelompok
tari studio Taksu, paduan suara Voca Erudhita, ketoprak Ngampung, dan
warga sekitar Solo maupun Wisatawan yang juga rela tampil basah kuyup
karena kehujanan.
Panggung dirancang terbuka dengan dekorasi sederhana namun menarik.
Kain-kain dibentangkan pada tiang bambu sehingga menyerupai layar dari
sebuah perahu. Di delta Sungai Kalianyar, tiang layar serupa juga
dibentangkan. Setting cerita yang direncanakan digelar di tengah Sungai
Kalianyar terpaksa dibatalkan karena meluapnya sungai akibat hujan deras
yang mengguyur Kota Solo beberapa waktu sebelum acara diselenggarakan.
Pergelaran sendratari “Jarik” merupakan acara inti Festival
Tirtonadi. Dengan mengandalkan 170 pemain, “Jarik” bercerita tentang
arti pentingnya cinta. Baik cinta kepada sesama, maupun cinta dalam arti
luas terhadap lingkungan dan alam yang menghidupi manusia. Ada Cinta
yang tulus saling berbagi, ada juga cinta penuh siasat. Tari, ketoprak,
dan seni suara dipadukan dalam koreografi yang indah dalam sendratari ”
Jarik “. Semangat para kru, penari, pemain ketoprak dan grup vokal dalam
mendukung terwujudnya acara ini patut diacungi jempol, mereka rela
berbasah kuyup demi terselenggaranya festival seni dan budaya Tirtonadi
yang perdana, tidak peduli kedinginan ataupun khawatir akan jatuh sakit.
Semoga acara seni budaya ini dapat langgeng terselenggara tiap tahunnya
di kota Budaya Solo: “The Spirit of Java”
MONUMEN 45 BANJARSARI
Monumen 45 merupakan sebuah monumen yang
dibangun untuk memperingati peristiwa bersejarah di kota Solo, yaitu
Serangan Umum Empat Hari yang terjadi pada tanggal 7-10 Agustus 1949.
Monumen ini didirikan di Taman Banjarsari dimana serangan tersebut
terjadi. Penggagas serangan tersebut adalah Letkol Slamet Riyadi dan
rekannya Mayor Ahmadi yang kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional.
Jasa Letkol Slamet Riyadi di abadikan dalam tugu yang ada di RS Slamet
Riyadi dan patung raksasa di bundaran Gladag. Sedangkan Mayor Ahmadi,
jasanya dikenang lewat patung yang didirikan di Poroliman yang lokasinya
tak jauh dari Monumen 45.
Monumen
45 Banjarsari di bangun Pemkot Surakarta pada tanggal 31 Oktober 1973
guna mengenang perjuangan rakyat Solo pada peristiwa pertempuran melawan
tentara Belanda. Setelah 3 tahun pembangunan, Monumen 45 Banjarsari di
resmikan oleh Gubernur Jawa Tengah (masa itu) Soepardjo Roestam pada
tanggal 10 November 1976 bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Banyak
hal di setiap sudut dari Monumen 45 yang bisa diulas. Sebelum melihat
dari dekat Monumen 45, ada gerbang yang dibangun menyerupai gerbang
Kraton Kasunanan. Gerbang ini adalah pintu masuk Taman Banjarsari dimana
monumen ini dibangun di tengah-tengahnya. Monumen 45 dibangun dengan
patung dua pejuang, yaitu Ulama Pejuang dengan membawa keris dan Pejuang
Rakyat Jelata yang membawa bambu runcing, pemandangan ini tampak dari
sisi sebelah utara.
0 komentar:
Posting Komentar