Mbah Meyek, Asal-usul Kampung Bibis BANYAK nama kampung, desa, kota yang memiliki riwayat khusus, namun yang asal-usulnya diperingati masyarakat sudah tidak banyak lagi. Bahkan, tidak jarang cerita asal-usul itu tidak lagi dikenal, terutama oleh generasi muda. Salah satu yang sampai sekarang masih terus lestari memperingati riwayat kampung di Solo adalah warga Kampung Bibis. Setiap bulan Sura bertepatan dengan hari Selasa Kliwon, masyarakat Bibis mengadakan selamatan, dan menggelar wayang pada malam Jumat Pon. Menurut cerita, Kampung Bibis erat kaitannya dengan riwayat salah seorang putri Raja Pajang Sultan Hadiwijaya dari garwa selir Dewi Setya Arum Sari Hastutiningsih, yaitu Dyah Sri Widyawati Ningrum. Menurut Padi, salah seorang tetua kampung, suatu saat Dyah Sri Widyawati diusir dari keraton oleh Sultan Hadiwijaya, karena dituduh berbuat serong dengan abdi dalem. Ternyata, tidak hanya dia saja yang pergi dari keraton, Ibunya juga ikut menyertai kepergian anak perempuannya itu. Karena murka, Sultan Pajang meminta prajurit kerajaan untuk membuntuti kepergian dua puteri keraton itu dan harus dibunuh. Pelarian puteri Dyah Widyawati dan ibunya ke timur kota Pajang sampai ke pinggir Kali Pepe. Keduanya lalu menaiki gethek (perahu dari bambu) untuk menyeberangi sungai tersebut. Maksudnya untuk melanjutkan pelarian ke utara. Namun, para prajurit berhasil menyusul, meski ketika itu gethek sudah sampai ke tengah sungai. Para prajurit kemudian melepaskan panah tombak, dan mengenai dada Dewi Setya Arum. Bersamaan dengan kejadian itu, tiba-tiba terjadi hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Gethek yang dinaiki terkena petir sehingga hancur. Anehnya, tempat itu mendadak menjadi gelap gulita, sehingga para prajurit memilih pulang ke keraton. Apalagi saat itu mereka merasa kedua puteri itu dipastikan sudah tewas terkena tombak. Tewaskah kedua puteri itu? Ternyata menurut cerita yang diyakini, Dewi Setya Arum hilang bersama raganya (musna sak ragane), sedangkan Dyah Widyawati terlempar ke daratan bersama dengan gethek yang hancur itu. ”Gethek yang rusak itu sampai meyek-meyek, sedangkan puteri Dyah Widyawati akhirnya pilih menetap di sebuah tempat, yang kemudian disebut Kampung Meyek. Di situ juga terdapat sebuah sumur kecil yang biasa disebut belik, yang juga disebut belik Meyek. Nama Meyek diambil dari kondisi gethek yang hancur dan kondisinya meyek-meyek. Maka , sang puteri pun disebut Mbah Meyek,” kata Wadiyono. Lain riwayat mengatakan, langkah Dyah Widyawati yang meyek-meyek karena kelelahan setelah berlari-lari dikejar prajurit, serta kelelahan karena terlempar dari sungai itu, yang kemudian memunculkan julukan Mbah Meyek. Dia kemudian menjadi pertapa bernama Dhundha Badhundha. Kampung Bibis Kenapa kemudian disebut Kampung Bibis? Ternyata ada riwayat lanjutannya. Saat itu ada seorang kiai yang nenepi (tirakat) di Kampung Meyek itu. Kiai itu kemudian ditemui pertapa Dhundha Badhunda, dan diberi beberapa pesan. Pertama dia diberi obat untuk anaknya yang sakit, berupa air yang diambilkan dari belik Meyek. Kedua, jika ingin Kampung Meyek menjadi makmur harus diganti namanya menjadi Kampung Bibis. Selanjutnya, setiap tahun sekali, tepatnya pada hari Selasa Kliwon di bulan Sura, harus mengadakan sedekah desa dan wayangan di malam Jumat Pon. Pesan itu hingga sekarang dilaksanakan warga sekitar. Setiap menjelang hari itu di bulan Sura, diadakan bersih desa, masyarakat bekerja bakti bersama membersihkan belik Meyek dan sekitarnya. Juga kemudian digelar wayang semalam suntuk, bahkan sebelum pagelaran dimulai wayang yang akan digunakan ki dalang terlebih dulu dikirab keliling kampung. Sedangkan sebutan Kampung Meyek berganti menjadi Kampung Bibis. Riwayat lain mengatakan, disebut Kampung Bibis karena di situ juga terdapat banyak burung Belibis. Hanya saja karena sekarang sudah berubah menjadi perkampungan, tidak ada lagi burung belibisnya.(Joko Dwi Hastanto-42)
Selasa, 09 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar